Bapa Suci atawa Catatan Kritis buat Catatan Kritis yang Kritis

26 Jul

Bapa Suci atawa Catatan Kritis buat Catatan Kritis yang Kritis

Oleh: Charles Markus Sinaga

Kepada Yth.

Bapa Magnis

Bapa yang terhormat,

Salah satu buku yang pertama saya baca tentang Marx adalah buku Bapa berjudul “Pemikiran Karl Marx” (1999). Alasan membaca buku tersebut tentu karena Bapa dikenal sebagai seorang ahli pemikiran Marx yang mumpuni. Bapa sudah menulis disertasi tentang Marx, tidak sedikit membimbing skripsi soal pemikiran Marx, dan menulis banyak artikel atau makalah presentasi seminar tentang pemikiran Marx dan Marxisme. Saya pribadi kagum terhadap kemampuan Bapa menyederhanakan pemikiran-pemikiran Marx sekagum saya kepada Karl Kautsky yang telah membuat ringkasan populer sehingga pemikiran Marx bisa dicerna oleh pikiran orang kebanyakan semacam saya ini.

Selain itu, buku yang pertama terbit tahun 1999 itu sudah dicetak berulang kali. Artinya banyak orang yang mempercayai kehandalan buku tersebut. Setahu saya, sampai 2001 sudah lima kali mengalami cetak ulang. Andai sekali cetak 2000 eksemplar, berarti buku itu sudah dibaca setidaknya oleh 10.000 orang. Ditambah mereka yang pinjam, karena tidak punya uang cukup untuk membeli, lalu memfoto kopinya sehingga bisa mendapat pengetahuan berharga itu dengan sedikit uang saja. Belum lagi berapa ratus ribu mahasiswa jurusan filsafat, ilmu politik, sosiologi, atau yang lainnya yang tidak membaca tetapi mendengarkan paparan dosen yang menggunakan buku Bapa sebagai bahan ajar utama.

Namun demikian Bapa, waktu saya membaca beberapa karya Marx sendiri, saya menemukan beberapa kekeliruan di dalam buku Bapa. Ada beberapa pernyataan atau kesimpulan yang diambil kurang selaras dengan apa yang saya baca di dalam karya Marx sendiri. Mulanya saya pikir kekeliruan itu karena karena saya tidak membaca Marx dalam bahasa aslinya Jerman, seperti yang Bapa lakukan, tetapi dalam terjemahan bahasa Inggrisnya. Kepikiran juga keganjilan itu karena saya tidak belajar filsafat akademik sebelumnya. Padahal Marx itu seorang filsuf Hegelian—konon Hegelianisme termasuk filsafat rumit yang pernah ada di muka bumi. Saya bolak-balik bacaan, lalu saya diskusikan dengan beberapa kawan sampai merasa betul-betul paham. Akhirnya, dengan takut-takut pada bayangan Bapa yang tampak raksasa bagi saya, ditetapkanlah bahwa memang ada beberapa pernyataan atau kesimpulan Bapa yang keliru soal Marx.

Karena sudah begitu banyak orang yang membaca buku “Pemikiran Karl Marx” yang saya nilai mengandung beberapa kekeliruan kecil, bukankah ada baiknya diterangkan pula apa saja kekeliruan itu sebagai perbandingan, lalu kita serahkan pilihan terakhir kepada pembaca, apakah tetap mengikuti pandangan Bapa atau tidak? Bukankah begitu ajaran moralnya Immanuel Kant, Bapa?

Bapa yang terhormat, karena perhatian saya cuma pada pemikiran ekonomi Marx (lagi pula saya mengidap kelemahan daya pikir dalam mempelajari filsafat), izinkan saya memberi catatan-catatan hanya untuk Bab Delapan, Bab Sembilan, serta Bab Dua Belas dari buku Bapa tersebut.

Catatan 1: Soal Pengertian Kerja Produktif

Kekeliruan pertama ialah pengertian “kerja produktif” menurut Marx. Menurut Bapa, yang dimaksud Marx dengan kerja produktif ialah “kerja tangan langsung” sehingga “menurut Marx, seluruh bidang yang disebut “pelayanan” (service) tidak menghasilkan nilai” (h. 194). Di halaman yang sama Bapa memberi contoh apa saja pekerjaan yang dimaksudnya pelayanan itu: manajer, organisator, pembersih WC, pembersih lantai, satpam, karyawan kantin, bagian penelitian ilmiah, dan bagian advertising. Pertanyaannya: benarkah Marx mengartikan “kerja produktif” sebagai “kerja tangan langsung”? Lalu, benarkah dalam pengertian Marx pekerjaan manajer, pembersih WC, sampai bagian advertising tidak produktif?

Pada catatan akhir untuk Bab Sembilan, Bapa menyatakan: “Seluruh bab ini berdasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital” (h. 266, fn.1). Setelah saya tengok ke daftar pustaka, memang tercantum di sana tiga jilid Das Kapital. Tapi Bapa, justru di sini keganjilannya. Andaikan Bapa betul-betul membaca ketiga jilid Das Kapital, atau setidaknya dua halaman pertama saja dari jilid pertama Das Kapital Bab XVI, maka Bapa akan menemukan kalimat seperti ini: “Pekerja yang produktif ialah dia yang menghasilkan nilai-lebih bagi kapitalis, atau dengan kata lain bersumbangsih terhadap valorisasi-diri kapital” (Marx 1990: 644). Pada halaman yang sama Marx memberi contoh “kepala sekolah”. Kepala sekolah termasuk melakukan kerja produktif apabila pekerjaannya seperti mengorganisir dan memanajeri lembaga pendidikan serta mendidik anak-anak itu memperkaya pemilik sekolah. Lalu Marx menegaskan bahwa tak peduli pekerjaan itu dilakukan di “pabrik pengajaran” dengan kerja-kerja “pelayanan” atau di “pabrik saos” dengan kerja “tangan langsung”, yang jelas kerja menjadi produktif apabila ia menyumbang pada valorisasi-diri kapital (sebagai ahli pemikiran Marx, tentu Bapa paham betul arti konsep ini, jadi tidak perlu saya jelaskan di sini).

Karena Bapa menegaskan bahwa seluruh Bab Sembilan berdasarkan pada tiga jilid Das Kapital, mulanya saya pikir tidak mungkin Bapa, seorang ahli filsafat dari sebuah perguruan tinggi filsafat ternama di Indonesia, begitu sembrono bikin kesimpulan. Tapi jelas pengetahuan Bapa soal pengertian kerja produktif menurut Marx tidak berasal dari Marx sendiri. Setidaknya tidak dari halaman kedua bab XVI Das Kapital jilid pertama. Saya sempat terpikir, jangan-jangan Bapa salah baca atas ulasan Marx pada seksi 6 Bab XV yang pada halaman akhir menyatakan:

“Akhirnya, peningkatan luar biasa di dalam produktivitas industri skala besar yang diiringi baik oleh lebih intensif maupun lebih ekstensifnya penghisapan tenaga-kerja di semua lingkup produksi, memungkinkan semakin besarnya bagian dari kelas pekerja yang dipekerjakan secara tidak-produktif. Dengan demikian mungkinlah mencipta kembali budak-budak domestik kuno dalam lingkup yang terus-menerus meluas, di bawah nama kelas pelayan yang mencakup pelayan laki-laki, pelayan perempuan, pesuruh, dsb.” (Marx 1990: 574).

Sepanjang seksi 6 Bab XV ini Marx menjelaskan bahwa perkembangan atau masuknya teknologi produksi lebih baru dengan kekuatan produktif yang meningkat ketimbang teknologi sebelumnya, pada satu sisi akan mengurangi kebutuhan akan tenaga-kerja. Kapital yang sebelumnya ditanamkan untuk membayar upah dipotong dan dimasukkan ke dalam kapital-konstan serta konsumsi konsumtif kelas kapitalis. Pekerja-pekerja yang tersingkir dari proses produksi tidak kemudian bergentayangan di jalanan begitu saja. Dengan teknologi baru, kebutuhan akan jenis pekerjaan baru, dan dengan demikian akan tenaga-kerja jenis baru, juga muncul. Beberapa dasawarsa lalu, sebelum teknologi komunikasi seperti sekarang, di sektor telekomunikasi banyak pekerja bertugas sebagai operator penyambung manual yang kerjaannya menyambung-nyambungkan satu nomor ke nomor lain. Ketika teknologi komunikasi memasukkan juga teknik dan mesin yang bisa menyambungkan secara otomatis, para pekerja penyambung manual tersingkir. Tetapi kebutuhan akan operator komputer yang membuat otomatisasi penyambungan line telepon juga muncul. Begitu juga kebutuhan akan ahli program komputer yang membuat serta mengoperasikan program komputer yang membuat kerja mesin penyambung itu berjalan. Pekerja-pekerja jenis baru ini memerlukan waktu pendidikan keahlian yang lebih lama ketimbang operator penyabung manual di masa sebelumnya. Karena itu pula kebutuhan akan layanan pendidikan dengan pekerja-pekerjanya yang khusus juga muncul. Di samping itu, produktivitas kerja yang naik karena teknologi baru menghasilkan sejumlah besar kekayaan. Berbagai kebutuhan baru muncul dan tentunya sarana pemenuh kebutuhan itu harus diproduksi yang, tentu saja, memerlukan pekerja lain yang memproduksinya. Selain peningkatan kemakmuran golongan penghisap, ketersingkiran pekerja-pekerja tidak terampil dari proses produksi yang membutuhkan pekerja terampil inilah yang memungkinkan semakin banyak bagian dari kelas pekerja yang dipekerjakan oleh borjuasi untuk kerja-kerja tidak produktif

Seorang CEO korporasi media, misalnya, mempekerjakan baby sitter, sopir pribadi, tukang kebun, pembantu rumahtangga, perawat untuk ibunya yang renta, dan satpam pribadi di rumahnya. Golongan kelas pekerja ini dipekerjakan secara tidak produktif. Mengapa? Karena kerja-kerja yang mereka curahkan tidak produktif bagi si CEO. Mengapa? Karena kerja-kerja yang mereka lakukan bukanlah komoditi yang dimasukkan ke dalam sirkulasi kapital. Upah mereka tidak berasal dari nilai-lebih yang dikapitalisasi sebagai kapital-variabel, tetapi dari revenue kelas kapitalis (sebagai ahli pemikiran Marx, tentu Bapa paham bedanya kapital dan revenue). Si CEO, sebagai pribadi, mengkonsumsi sendiri kerja-kerja yang dicurahkan golongan pelayan ini. Konsumsinya tersebut bukan dalam kedudukannya sebagai representasi kapital yang mengkonsumsi nilai-tukar, tetapi sebagai pribadi yang mengkonsumsi nilai-guna.

Lain ceritanya jikalau baby sitter, sopir pribadi, tukang kebun, pembantu, perawat, atau satpam yang bekerja di rumah si CEO itu sebetulnya bekerja untuk suatu agen penyalur atau perusahaan yang khusus menyediakan outsourcing jasa-jasa kerumahtanggaan. Bagi direktur perusahaan outsourcing jasa-jasa kerumahtanggan, kerja-kerja yang dilakukan baby sitter, sopir, atau lainnya itu adalah kerja produktif karena menghasilkan nilai-lebih baginya ketika si baby sitter ‘disewa’ jasanya di keluarga si CEO. Tetapi, bagi si CEO sendiri yang mengkonsumsi langsung pekerjaan mereka sebagai nilai-guna, kerja-kerja mereka bukanlah kerja produktif. Konsumsi si CEO atas pekerjaan para pelayan itu sama halnya dengan konsumsi hiburan di konser jazz atau senampan seafood segar.

Jadi, apabila saya berprasangka baik Bapa membaca juga konteks ulasan seksi 6 Bab XV jilid pertama Das Kapital ini, tentunya Bapa paham apa arti “kerja produktif” menurut Marx. Namun, saat menengok kembali halaman 194 bukunya Bapa, saya jadi ragu Bapa betul-betul membacanya. Lalu di pikiran saya muncul pertanyaan: dari mana asalnya pemahaman Bapa tentang pengertian kerja produktif menurut Marx yang aneh itu? Ah, mungkin Bapa pernah membaca karyanya Adam Smith yang masyur itu, The Wealth of Nations, atau setidaknya pernah dengan sepintas saat Bapa melintasi ruang kelas yang di dalamnya rekan junior Bapa sedang mengajarkan karya Adam Smith tersebut dan khilaf menyantelkannya kepada Marx.

Jika tidak seluruhnya, mungkin Bab III Buku II pernah Bapa baca (Smith 1999: 429-449). Di situ Sir Adam Smith menerangkan perbedaan kerja produktif dan kerja tidak-produktif. Dia sebut-sebut soal kerjanya “menial servant” atau pelayan tidak terampil sebagai kerja tidak-produktif karena tidak menghasilkan nilai-lebih bagi majikan yang mempekerjakannya. Kerja-kerja mereka dikonsumsi sebagai nilai-guna, dan bukannya nilai-tukar. Selain itu, di dalam konteks waktu itu, ketika Revolusi Industri belum menampakkan daya pengubahnya terhadap jalannya perekonomian kapitalis selanjutnya dan sistem pabrik belum berkembang, organisasi produksi masih dalam rupa apa yang disebut Marx sebagai “kooperasi sederhana” (Marx 1990: 439-454). Di dalam corak “kooperasi sederhana”, seorang kapitalis masihlah seorang koordinator pekerja yang mengumpulkan beberapa pekerja terampil untuk bekerja di dalam satu bengkel kerja. Seperti di dalam industri feodal, belum ada pembagian pekerjaan di dalam satu unit produksi. Tiap-tiap pekerja menghasilkan segelondong utuh komoditi. Di bengkel pelana, misalnya, tiap-tiap pekerja mengerjakan seluruh bagian pelana dan merakitnya hingga menjadi sebuah pelana utuh. Artinya, seorang pekerja adalah haruslah ahli atau pekerja terampil. Dalam konteks ini “menial servant” jelas tidak termasuk pekerja produktif karena yang menghasilkan nilai-lebih buat kapitalis ialah pekerja-pekerja terampil.

Lain ceritanya ketika Revolusi Industri mulai menunjukkan kekuatannya beberapa dasawarsa setelah Sir Adam Smith menerbitkan The Wealth of Nations (1776). Revolusi Industri memunculkan pengorganisasian tenaga-kerja yang disebut Marx sebagai sistem pabrik modern. Di dalam sistem pabrik modern tidak ada lagi tenaga-kerja yang menghasilkan komoditi utuh. Pembagian pekerjaan merumpil sehingga seorang pekerja hanya bisa ‘bekerja’ sebagai bagian dari tim besar. Sekelompok pekerja mengerjakan suatu bagian; sekelompok lainnya mengerjakan bagian lain. Di dalam kelompok, seorang atau beberapa pekerja mengerjakan sub-bagian tertentu dan seorang atau beberapa pekerja lainnya mengerjakan sub-bagian lainnya; dan begitu seterusnya. Di bawah kapitalisme, dengan sistem pabrik modern sebagai kunci pergerakannya, kerja harus dilihat bukan sebagai kerja manual, tetapi sebagai kombiniertes Arbeitsvermögen atau Gesamtarbeitsvermörgen (maaf Bapa apabila saya salah ketik, maklum kemampuan berbahasa Jerman saya amat sangat terbatas sekali). Di dalam sistem pabrik modern,

“Sebagian bekerja lebih baik dengan tangan-tangan mereka, sebagian lainnya dengan kepala-kepala mereka, sebagian sebagai manajer, insinyur, ahli teknologi, dsb., yang lain sebagai pengawas, yang ketiga sebagai pekerja manual atau bahkan pekerja kasar” (Marx 1990a: 1040).

Dalam konteks pembagian pekerjaan yang kian rumit di dalam sistem pabrik, produktif dan tidak-produktifnya kerja ditentukan, seperti yang sudah dikatakan Marx di atas, oleh kedudukannya di dalam sirkulasi kapital.

Kutipan di atas, yang saya ambil dari Resultate, juga menegaskan bahwa contoh yang Bapa ajukan untuk “kerja-kerja pelayanan” seperti manajer, organisator, pembersih WC, pembersih lantai, satpam, karyawan kantin, bagian penelitian ilmiah, dan bagian advertising, tidaklah tepat jika niat Bapa ialah menghakimi kenaifan Marx. Ingat Bapa, Yesus pernah bilang bahwa dia yang suka menghakimi, akan dihakimi (Matius 7: 1).

Waktu saya menengok kembali daftar pustaka “Pemikiran Karl Marx”, terus-terang saya gentar karena di sana terdaftar karya-karya Marx dalam bahasa Jermannya dari mulai naskah disertasi Hefte zur epikureischen… hingga tiga jilid Theorien über den Mehrwert. Tetapi, syukurlah di sana tidak tercantum naskah yang menurut saya lumayan penting dalam kaitannya dengan pengertian kerja produktif, yaitu Resultate des unmittelbaren Produktionsprozesses atau dikenal sebagai Resultate saja sejak 1930-an. Naskah ini ditulis sekitar 1863-1866 dan direncanakan menjadi Bagian Ketujuh dari jilid pertama Das Kapital. Kedudukannya terhadap Das Kapital ialah sebagai ringkasan jilid pertama dan jembatan ke jilid kedua.

Baiklah Bapa, karena pengertian kerja produktif menurut Marx sudah diterangkan di atas, saya tidak akan mengulas lebih lanjut isi sub-bab dalam Resultate yang berjudul “Kerja Produktif dan Tidak Produktif” dan hanya akan mengutip langsung dari naskah tersebut satu contoh yang Marx berikan dengan gamblang supaya Bapa bisa insaf dan menyadari betapa pernyataan Bapa yang gagah berani tentang apa yang dimaksud Marx dengan kerja produktif itu sebetulnya keliru. Marx memberi contoh:

“Misalnya, Milton, penulis Paradise Lost, bukanlah pekerja produktif. Di sisi lain, seorang penulis yang bekerja untuk penerbitnya di dalam gaya pabrik ialah pekerja produktif. Milton menghasilkan Paradise Lost seperti halnya ulat sutra menghasilkan sutra, sebagai kegiatan dari kodratnya sendiri. Dia kemudian menjual produknya seharga £5 dan jadilah ia seorang pedagang. Tetapi proletariat terdidik dari Leipzig yang menghasilkan buku-buku, seperti kompendia tentang ekonomi politik, atas perintah penerbitnya lebih condong sebagai seorang pekerja produktif karena produksinya diambil alih oleh kapital dan hanya berlangsung dalam rangka untuk meningkatkannya. Seorang penyanyi yang bernyanyi semerdu burung bukanlah pekerja produktif. Jika dia jual nyanyiannya untuk uang, maka dia menjadi pekerja-upahan atau pedagang. Tatapi jika penyanyi yang sama terikat kepada seorang wirausahawan yang membikin nyanyiannya menghasilkan uang, maka dia menjadi pekerja produktif karena dia menghasilkan kapital secara langsung. Seorang kepala sekolah yang bekerja demi upah di sebuah lembaga bersama-sama yang lain, mencurahkan kerjanya sendiri untuk meningkatkan uang wirausahawan yang memiliki lembaga perdagangan-pengetahuan [tersebut], adalah pekerja produktif” (Marx 1990a: 1044).

Jadi, kerja yang dicurahkan seorang dosen di sebuah lembaga pendidikan tinggi bisnis yang dimiliki seorang pebisnis dan dijalankan untuk memperoleh laba adalah kerja produktif, sementara kerjanya Bapa Magnis-Suseno di sebuah lembaga pendidikan yang dikelola sebuah yayasan keagamaan nir-laba demi kemajuan agama dalam menyebarkan Kabar Baik, juga demi bangsa dan negara kita tercinta, bukanlah kerja produktif.

Sebagai tambahan saja Bapa, dalam pemikiran ekonomi Marx, pengertian service tidak diperlawankan dengan “kerja tangan langsung”. Service adalah kerja sebagai nilai-guna yang dikonsumsi seperti halnya Bapa membeli bensin untuk Vespa yang Bapa pakai sehari-hari, bukan sebagai nilai-tukar yang dioperasikan di dalam sirkulasi kapital demi nilai-lebih (Marx 1990a: 1042). Di dalam Grundrisse (salah satu buku paling membosankan yang pernah saya baca, Bapa) Marx mencotohkan suatu jenis kerja service yang justru di dalam pemahaman Bapa tergolong “kerja tangan langsung”. Marx mencontohkan kerjanya penebang kayu yang menebang pohon, memotong-motongnya menjadi kayu bakar dan kemudian digunakan si kapitalis untuk memanaskan tungku penghangat di rumahnya. Kerjanya si penebang kayu ini kemudian dibayar dengan sejumlah tertentu uang oleh si kapitalis, tetapi bukan dari kapital, tetapi dari revenue-nya (Marx 1973: 272). Rumus umum konsumsi revenue yang menjadikan suatu curahan kerja itu tidak produktif bagi kapitalis ialah C-M-C yang orientasinya adalah nilai-guna. Sementara itu rumus umum konsumsi kapital yang membuat suatu pekerjaan termasuk produktif adalah M-C-M yang orientasinya ialah nilai-tukar yang menghasilkan nilai-lebih.

Seperti kerja atau aktivitas lain, kerja-kerja yang tergolong service tentu saja bernilai ketika memenuhi kebutuhan tertentu manusia. Di dalam kapitalisme dan khususnya bagi kapitalis, agar menjadi produktif tidak cukup suatu kerja itu berguna. Kerja itu juga haruslah menjadi bagian dari proses penciptaan nilai-lebih.

Jadi, pertanyaan kritis Bapa seperti: “Menurut Marx, seluruh bidang yang disebut “pelayanan” (service) tidak menghasilkan nilai. Apakah itu benar?” tampaknya lebih terdengar seperti pertanyaan orang awam yang tidak tahu apa yang sedang dibicarakan daripada pertanyaan seorang ahli pemikiran Marx yang kritis. Pertanyaan seperti ini mirip dengan pertanyaan: “Masak sih ada orang Minang yang pernah menjadi Perdana Menteri Indonesia?” dari seseorang yang tidak tahu bahwa Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan parlementer dan perdana menteri pertamanya adalah Sutan Syahrir.

Kapitalis, sebagai representasi kapital dan bukan sebagai representasi kepala keluarga yang sakinah mawahdah, mengkonsumsi tenaga-kerja bukan terutama karena nilai-gunanya (kemampuan menjahit, menyusun pembukuan, merancang disain produk, mengangkut barang, menjaga keamanan pabrik, membuat reportase jurnalistik, merancang program komputer, memotret model, tersenyum manis ke pelanggan, mengoperasikan mesin bubut, dsb.). Nilai-guna tenaga-kerja hanya dikonsumsi sepanjang ia bisa ditawar secara efektif, dalam arti kapitalis sudi membayar sejumlah tertentu uang untuk mempekerjakannya di dalam proses produksi, yang tujuannya, tiada lain, menghasilkan nilai-lebih yang akan menjadi laba bagi kapitalis.

Pengertian kerja produktif dan tidak produktif seperti yang dimengerti Marx, bukanlah ciptaan Marx, Bapa. Marx hanya mengamati bahwa di bawah kapitalisme kerja-kerjanya kelas pekerja terpilah menjadi kerja produktif dan kerja tidak-produktif dalam kaitannya dengan sirkulasi kapital dan valorisasinya. Kerja tidak produktif tidak menghasilkan nilai, entah itu tergolong “kerja tangan langsung’ atau “kerja pelayanan”. Misalnya, seorang pengusaha mempekerjakan seorang tukang pijat untuk memijati badannya yang pegal-pegal, dan dia membayar Rp. 50.000, untuk sejam. Kerja tukang pijat yang dikonsumsi pengusaha itu tidak tidak produktif bagi si pengusaha karena tidak menghasilkan nilai buat si pengusaha selain nilai-guna pijatannya yang bikin dia lebih seger. Beda dengan, misalnya, apabila pengusaha itu mengumpulkan 10 tukang pijat untuk dipekerjakan di panti pijatnya. Kerja-kerja tukang pijat ini ‘dijual’ kepada pelanggan Rp. 50.000,- sejamnya sehingga si pengusaha bisa mendapatkan laba bersih bulanan, misalnya Rp. 500.000,-. Kerja tukang-tukang pijat itu produktif bagi si pengusaha, sekarang.

Dan jangan lupa Bapa, sekali lagi, Marx mengartikan kerja produktif sebagai kerja yang menghasilkan ‘nilai-lebih’ itu juga dalam konteks mengulas suatu perekonomian (kapitalis), bukan dalam konteks telaah estetika atau filsafat moral. Pertanyaan-pertanyaan kritis yang Bapa lontarkan bikin saya bingung sebab Bapa tidak menerangkan yang dimaksud Bapa dengan “menghasilkan nilai” itu apa. Bapa juga menggunakan istilah “menciptakan nilai produk”. Perlu diingat Bapa, nilai produk akhir dari suatu proses produksi, menurut Marx, mengadung tiga nilai, yaitu nilai kapital-konstan, nilai kapital-variabel, dan nilai-lebih. Misalkan total nilai akhir produk adalah 7000. Di dalamnya bisa mengandung 3000 nilai kapital-konstan, 2000 nilai-kapital variabel, dan 2000 nilai-lebih sebagai laba. Nilai relatif atau harga produk tersebut di pasaran tidak bisa jauh-jauh dari total nilai yang membangunnya (7000). Marx sama sekali tidak pernah bilang bahwa nilai akhir produk hanya sumbangsih dari tenaga-kerja. Yang Marx bilang ialah bahwa nilai-lebih; nilai tambahan yang melampaui nilai yang sudah dikeluarkan kapitalis untuk membeli sarana produksi (kapital-konstan) dan membayar pekerja (kapital-variabel), bersumber dari kerja-lebih yang dicurahkan pekerja setelah pekerja menghasilkan nilai yang setara dengan nilai kapital-variabel yang telah dikeluarkan kapitalis mempekerjakan pekerja.

Terlepas dari benar-tidaknya teori nilai-lebih Marx, yang jelas pengertian kerja-produktif menurut Marx keliru Bapa pahami. Menurut saya kekeliruan ini konyol karena dengan landasan pemahaman yang keliru, pertanyaan-pertanyaan kritis yang Bapa bangun di atas landasan itu terdengar mirip interogasi hansip kampung. Tidakkah Padre Iñigo mengajarkan berbagai teknik meditasi ketenangan batin, Bapa?

Catatan 2: Soal Teori Nilai Kerja

Bapa yang terhormat,

Dari cara Bapa mengajukan pertanyaan kritis sepertinya Bapa begitu memahami pemikiran Marx, terlebih tentang teori-teori ekonominya. Tetapi, ada satu hal remeh yang bikin Bapa tampak hanya seolah-olah paham, yaitu pertanyaan-pertanyaan kritis Bapa terhadap teori nilai kerja. Langsung saja saya kutip pernyataan Bapa:

“Serangkaian pertimbangan kritis menyatakan bahwa nilai (selalu: nilai tukar) komoditi tidak hanya ditentukan oleh pekerjaan yang masuk ke dalam penciptaannya. Nilai pakai misalnya, jadi guna barangnya, atau apakah barang itu diminati atau tidak, ikut menentukan nilainya… Hal ini tampak dengan paling tajam dalam nilai produk seni di mana kaitan dengan waktu pembuatannya tidak relevan sama sekali” (hlm. 193).

Ada beberapa hal yang menarik dari pernyataan Bapa di atas. Pertama, Bapa tidak memahami pembedaan Marx atas barang bernilai yang berupa komoditi dan barang bernilai bukan-komoditi atau pseudo-komoditi. Komoditi terkait dengan produksi industrial. Produksi industrial artinya produksi yang bisa membuat suatu jenis komoditi secara berkelanjutan dan seragam (dan massal). Sistem produksi industrial menghasilkan sesuatu yang terbarukan. Sementara pseudo-komoditi atau komoditi-palsu ialah sesuatu yang tidak dihasilkan sistem produksi industrial tetapi diperlakukan seperti komoditi di kebudayaan kapitalis. Perhatian paparan tentang nilai di sepanjang Das Kapital terutama pada komoditi, barang hasil produksi industrial, bukan pada pseudo-komoditi. Tetapi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, perlu dijelaskan lebih lanjut tentang perbedaan komoditi dan komoditi-palsu dalam kaitannya dengan kebernilaian suatu barang.

Bapa yang cerdas, lukisan Monalisa yang masyur itu tentu saja tergolong barang berharga. Banyak orang-orang kaya yang rela mengeluarkan uang jutaan dolar untuk lukisan tersebut. Itupun kalau Museum Paris mau melelangnya. Seperti komoditi, lukisan Monalisa juga curahan kerja manusia yang bernama Leonardo da Vinci. Tetapi ia bukanlah komoditi. Mengapa, Bapa? Karena reproduksi terhadapnya tidaklah mungkin. Mengapa tidak mungkin? Karena kebernilaian lukisan Monalisa terkait erat dengan Leonardo da Vinci, seorang seniman besar yang hidup beberapa abad yang lalu. ‘Leonardo da Vinci’, ‘seniman besar’, dan ‘beberapa abad yang lalu’ tidak bisa direproduksi; ketiganya tidak bisa diperbarukan. Tiruan lukisannya, yang bisa dibuat oleh pengrajin lukisan (seperti yang ada di industri-industri kerajinan lukisan tiruan di Bandung, Jakarta atau Jogja) baik dibuat secara pesanan maupun dibuat massal untuk dijual ke hotel-hotel sebagai hiasan dinding sehingga bisa reproduktif adalah komoditi. Tetapi, karena nilai lukisan Monalisa yang asli tidak bisa dilepaskan dari Leonardo, sementara Leonardo beserta konteks historisnya sendiri tidak bisa diperbarukan, maka lukisan Monalisa tidak bisa direproduksi lewat sistem industrial dan dengan demikian ia bukan komoditi. Ia, seperti halnya semua barang antik atau langka, sekadar barang berharga; hanya komoditi-palsu yang diberhalakan mengandung nilai dalam dirinya sendiri.

Hal sama juga berlaku pada apa yang Bapa sebut, “gunung yang penuh dengan emas” (hlm. 193). Tanah atau gunung emas jelas sesuatu yang berharga apabila manusia jaman sekarang bisa memanfaatkannya. Apabila ada insinyur geologi mineral ITB mendeteksi keberadaan sesuatu yang berharga, emas misalnya, maka bidang tanah itu dan sekitarnya bisa dipastikan menjadi berharga juga. Namun, sebelum satelit pengindra sumberdaya mineral bisa mengendus keberadaan material berharga, atau tidak ada satu pihak pun di dalam pasar kapitalis yang berkepentingan memanfaatkannya, bidang-bidang tanah tersebut tidak akan berharga selain sebagai sarana subsistensi kaum tani atau wilayah berburu-meramunya suku-suku pedalaman. Tanah atau gunung emas itu bukan komoditi. Ia tidak diproduksi oleh kegiatan industrial dan tidak bisa diperbaharui pula. Tetapi, karena tanah sebagai ruang dan sarana produksi penting dalam sistem produksi kapitalistik, pasar kapitalis menjadikan tanah pseudo-komoditi atau, dalam peristilahan Karl Polanyi, “fictitious commodity” seperti halnya dengan tenaga-kerja dan uang (Polanyi 2001: 71). Tanah adalah nama lain dari alam ciptaan Tuhan, bukan ciptaan manusia dan tidak bisa diperbaharui.

Jadi, kritik terhadap teori nilai-kerja Marx dengan contoh “gunung emas” atau “lukisan” itu salah sasaran, Bapa. Di dalam Das Kapital, penjelasan tentang teori nilai-kerja didahului penjelasan tentang arti komoditi di dalam perekonomian kapitalis. Dari runutan penjelasan demikian, Marx ingin mengatakan bahwa yang sedang dibicarakan ialah nilai komoditi, nilai barang yang diproduksi dan direproduksi di dalam sistem industrial kapitalis, dan sama sekali bukan tentang nilai ‘gunung emas’ atau lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci.

Bapa yang mendapatkan rekor MURI sebagai rohaniwan pertama yang menulis tentang Marxisme, meski ‘gunung emas’ bukan komoditi, tetapi emas batangan, kalung emas, koin emas, benang-benang emas yang dijahitkan di jubah Paus atau cincin yang dikenakan beliau, atau jam emas buatan Rolex, adalah komoditi. Emas batangan merupakan hasil curahan kerja manusia atas alam. Nilai yang terkandung di dalam emas batangan tidak berasal dari gunung emas yang mengandungnya atau dari orang yang menghendakinya. Nilai emas itu berasal dari curahan waktu kerja rata-rata yang diperlukan secara sosial untuk menghasilkannya. Mengapa 1 ons benang emas bernilai lebih tinggi ketimbang sekilo kesemek? Karena curahan tenaga-kerja untuk menghasilkan 1 ons emas jauh lebih banyak ketimbang yang menghasilkan sekilo kesemek. Apabila Bapa penasaran, datang saja ke tambang-tambang emas rakyat. Satu kelompok penambang yang diongkosi oleh juragan setempat biasanya berjumlah antara 8 sampai 12 orang. Untuk mendapatkan bebatuan yang diperkirakan mengandung bijih emas, penambang harus menggali ke dalam perut gunung karena emas tidak menggatung di pohon emas seperti buah kesemek. Sekelompok penambang setidaknya bekerja 10 jam sehari, bahkan lebih, selama beberapa hari untuk bisa mengumpulkan bebatuan tersebut. Setelah memproses kumpulan bebatuan yang diperoleh selama beberapa hari lagi, kelompok penambang mungkin bisa beruntung mendapatkan beberapa gram emas saja dalam dua minggu! Di penambangan emas kapitalis modern, seperti PT Freeport di Papua, dengan produktivitas kerja yang sudah begitu tinggi: peralatan canggih, alat-alat pengeruk dan kendaraan pengangkut sebesar ruko, bahan dan teknik kimia yang lebih efisien, dan pekerja-pekerja lapangan, kimiawan, ahli geologi, serta manajer berpendidikan tinggi yang tidak sedikit di antaranya lulusan perguruan tinggi luar negeri bergengsi, perusahaan bisa mengesktraksi 16-20 kg emas dari setiap 1 ton batuan. Sebegitu banyak curahan kerja, baik dalam rupa tenaga-kerja langsung pekerja penambang maupun kerja yang tersembunyi di dalam peralatan, yang harus dikerahkan untuk menghasilkan secuil emas. Itulah mengapa emas bernilai jauh lebih tinggi dari kerupuk asin di pasar.

Lalu Bapa juga dengan gagah berani mengajukan alternatif cerdas atas teori nilai. Bapa mengatakan: “… guna barangnya, atau apakah barang itu diminati atau tidak, ikut menentukan nilainya” (Magnis-Suseno 1999: 193). Menurut ‘catatan kritis’ ini, barang yang amat diminati dengan sendirinya lebih bernilai daripada barang yang kurang diminati. Selain oleh Bapa, ‘catatan kritis’ sejenis ini biasanya dilontarkan oleh sekelompok sarjana yang dijuluki Marx sebagai ekonom-ekonom vulgar. Apabila benar kegunaan merupakan penentu akhir nilai komoditi, mengapa nilai beras jauh lebih rendah daripada lukisan surealis, padahal beras berguna bagi ratusan juta penduduk Pulau Jawa dalam segala situasi, sementara itu lukisan surealis hanya berguna untuk mereka yang sudah punya cadangan pangan untuk tujuh turunan?

Selain itu, di dalam ‘catatan kritis’ di atas teronggok anggapan bahwa kaitan antara barang dengan ‘minat’ atau kegunaan sudah melekat di dalam benak semua manusia sejak Tuhan menciptakan Adam (alaihi salam). Minat atau kegunaan terhadap pasta gigi, sabun muka, atau kondisioner sudah melekat di dalam kodrat manusia dan pasar hanya menyambungkannya saja. Nyatanya, para arkeolog, antropolog, atau sosiolog, melaporkan bahwa kegunaan atau minat pada sesuatu barang merupakan bentukan sosial dan historis sifatnya. Petani Jawa tradisional yang pertama kali menginjakkan kaki di tanah Papua lewat jalur program transmigrasi tentu menganggap sagu dan ulat sagu sebagai sesuatu yang tidak layak diminati dan tidak berkegunaan karena dalam kerangka budaya mereka keduanya bukanlah makanan. Begitu pula daging anjing di mata sekeluarga Muslim atau orang Amerika beragama Kristen Episcopal. Meski berbeda alasan, bagi Muslim atau orang Amerika itu, daging anjing bukanlah makanan, apalagi makanan lezat seperti yang umumnya dikatakan orang Korea atau Batak Kristen, sehingga tidak akan menganggapnya berguna, apalagi bernilai.

Di dalam masyarakat kontemporer, setelah kapitalisme bergerak ke sistem pengorganisasian sirkulasi kapital yang biasa dikenal sebagai Fordisme dengan produksi massalnya, kebutuhan akan konsumsi massal mendorong tumbuhnya industri periklanan. Tujuan mulia periklanan ialah merekayasa ‘kegunaan’ barang atau ‘minat’ konsumen terhadap sesuatu. Jadi, boleh dibilang cukup ganjil sebuah ‘catatan kritis’ yang menyatakan bahwa nilai komoditi ditentukan oleh kegunaan atau minat seseorang terhadapnya. Akan ada bermiliar paduan kemungkinan dari berbagai faktor subjektif-psikologis yang menentukan minat atau kegunaan suatu barang bagi seorang individu saja. ‘Penghitungannya’ akan menghanguskan prosesor komputer Anda. ‘Teori kegunaan/minat atas nilai’ ini jauh lebih tidak bisa diukur.

Teori kegunaan atau minat atas nilai komoditi juga tidak bisa menjawab soal cenderung susutnya nilai komoditi seiring dengan perkembangan kekuatan produktif. Mengapa harga laptop terus turun dari waktu ke waktu? Apakah ketika laptop sudah menjadi ‘kebutuhan’ sehari-hari bagi sebagian orang, termasuk bagi siswa-siswa sekolah menengah dari kalangan elit, minat orang terhadap laptop turun? Bagaimana mungkin nilai laptop turun sementara semakin banyak orang yang menginginkannya? Apakah ketika belum banyak dikenal orang laptop itu mahal karena banyak diminati sementara ketika banyak orang yang sudah kenal dan menggunakannya laptop tidak lagi diminati? Sungguh sebuah penalaran yang ganjil, setidaknya apabila dialamatkan kepada seorang guru besar filsafat dan “rohaniwan pertama yang menulis tentang Marxisme”.

Teori nilai-kerja, dibanding dengan teori kegunaan, lebih bisa menjelaskan mengapa ada kecenderungan turunnya nilai komoditi seiring dengan peningkatan kekuatan produktif (teknologi) yang menyusutkan waktu kerja rata-rata dalam membuatnya. Susutnya nilai komoditi laptop dari waktu ke waktu, misalnya, terjadi karena komposisi organik kapital, yaitu proporsi kapital-konstan terhadap proporsi kapital-variabel di sektor produksi barang-barang komputer makin tinggi sehingga produktivitas kerja di sektor produksi tersebut menjadi tinggi pula yang ujung-ujungnya menurunkan ongkos produksi per komoditinya.

Seringkali ketidaktahuan ditambah tugas suci dari Tuhan untuk menghancurkan marxisme tampil dalam bentuk pertanyaan konyol.

Catatan 3: Soal Upah dan Teori Pemiskinan Kelas Pekerja

Bapa yang terhormat,

Di dalam Bab Delapan dan Sembilan, Bapa, seperti juga Karl Popper, Joseph Schumpeter, Ludwig von Mises, atau Vilfredo Pareto—untuk contoh-contoh sarjana terkenal yang mengaku kritis terhadap Marx—percaya bahwa Marx menteorikan pemiskinan absolut kelas pekerja. Seperti bapa jelaskan dengan sederhana, teori ekonomi ini menyatakan bahwa semakin lama, kelas pekerja akan semakin miskin dalam arti semakin sedikit barang yang bisa dibeli dengan upah riil yang didapatnya. Upah nominal makin lama akan makin rendah sehingga kelas pekerja akan tersuruk ke dalam kemiskinan absolut.

Seperti juga sarjana-sarjana terkenal tersebut, Bapa yakin betul Marx mengaitkan pemiskinan absolut ini dengan revolusi kelas pekerja. Sederhananya, karena semakin lama kelas pekerja semakin miskin hingga makin lama akan makin sengsara hidupnya, kelas pekerja akan memilih: mati atau revolusi. Bapa kemudian membandingkan “teori Marx ini” dengan kenyataan. Upah riil pekerja tidaklah bertambah rendah. Malah ada perbaikan keadaan. “Kaum buruh tidak menjadi semakin melarat, melainkan selama lebih dari seratus tahun terus mengalami perbaikan keadaan” (h. 204). Itulah sebabnya, kata Bapa, “tak satu negara kapitalis pun yang mengalami revolusi buruh” (h. 175).

Saya bukan Marxis, Bapa. Selain tidak tahu seberapa benar tuduhan bahwa Marx berteori seperti itu, saya juga tidak terlalu ambil pusing benar-tidaknya teori revolusi tersebut andai benar Marx mengajukannya. Yang jelas di buku Bapa saya temukan keganjilan. Bapa, misalnya, menulis: “Sampai sekarang masih dipertentangkan apakah Marx meramalkan pertambahan kemelaratan yang absolut atau yang relatif saja […] yang jelas bahwa menurut The German Ideology dan Manifesto Komunis, revolusi tak terelakkan karena proletariat harus sedemikian melarat sehingga harus memilih antara mati atau berevolusi. Kemelaratan itu adalah kemelaratan absolut (h. 200). Di sini Bapa yakin betul kalau Marx mengajukan teori pemiskinan absolut dengan berlandas pada pembacaan atas Ideologi Jerman (1846) dan Manifesto Komunis (1848). Namun, kemudian Bapa bilang: “Tetapi kurang jelas apakah konsepsi itu juga masih dipertahankan oleh Marx dalam Das Kapital”.

Menurut saya yang mengidap kelemahan daya berpikir filosofis, pernyataan ini agak ajaib. Bukankah Bapa memberi tahu pembaca bahwa “Seluruh bab ini berdasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital” (h. 266, catatan akhir 1). Tapi mengapa Bapa mendasarkan pengetahuan Bapa tentang teori pemiskinan Marx, yang terkait erat atau boleh dikata menyatu dengan teorinya tentang upah dan nilai tenaga-kerja serta akumulasi kapital, kepada Ideologi Jerman dan Manifesto Komunis, dan bukannya kepada “tiga jilid Das Kapital”?

Seandainya betul Bapa membaca “ketiga jilid Das Kapital”, akan ditemukan bahwa Marx tidak mengungkit-ungkit lagi teori dari masa gejolak kawula mudanya tentang pemiskinan terus-menerus kelas pekerja secara absolut seperti yang Bapa tuduhkan. Di dalam Bab XXV jilid pertama Das Kapital yang diberi judul “Hukum Umum Akumulasi Kapital”, Marx menjelaskan bahwa nilai tenaga-kerja yang setara dengan nilai sarana hidup kelas pekerja akan susut seiring dengan peningkatan produktivitas kerja rata-rata. Dorongan untuk akumulasi kapital membikin kapitalis-kapitalis individual berlomba-lomba menanamkan kembali (sebagian) nilai-lebih yang didapat menjadi kapital. Untuk meningkatkan produktivitas (tentu Bapa sudah paham maksud dengan produktif di dalam perekonomian kapitalis, kan?), kapitalis menanam kapital ke permesinan dan teknologi produksi. Peningkatan kekuatan produktif permesinan (kapital-konstan), pada satu sisi, akan menyusutkan waktu-kerja perlu yang diperlukan pekerja untuk mengembalikan nilai yang telah dibayarkan kapitalis kepada mereka; dan pada sisi lain berarti menyusutkan nilai komoditi yang dihasilkan. Selain itu, susutnya waktu-kerja perlu berarti memanjangnya rentangan waktu-kerja lebih. Dengan demikian kerja menjadi lebih produktif dalam arti lebih banyak menghasilkan nilai-lebih tanpa harus memanjangkan durasi waktu kerja secara umum. Nilai-lebih yang diperoleh kapitalis dari pemendekan waktu-kerja perlu ini disebut “nilai-lebih relatif”.

Apa kaitannya eksploitasi relatif ini dengan upah pekerja? Susutnya waktu kerja-perlu yang menyusutkan nilai akhir komoditi berarti makin murahnya harga komoditi, termasuk harga komoditi yang merupakan sarana hidup kelas pekerja. Karena nilai tenaga-kerja merupakan nilai sarana hidup yang diperlukan secara sosial untuk ‘menghasilkannya’, dengan murahnya harga-harga kebutuhan pokok yang disebabkan peningkatan produktivitas, maka upah pekerja juga secara relatif lebih murah.

Sebagai filsuf yang berpengetahuan luas tentu Bapa tahu perseteruan tuan-tuan tanah Inggris dengan para industrialis pada awal abad ke-19. Para tuan tanah yang lahan pertanian mereka menghasilkan jagung menekan parlemen untuk melarang impor jagung. Impor berarti mereka harus bersaing dengan produsen jagung yang bisa menjual jagung lebih murah. Di sisi, industrialis menghendaki turunnya harga jagung sehingga mendesak parlemen mengijinkan impor jagung. Mereka ingin jagung-jagung lebih murah. Mengapa? Karena jagung merupakan bahan pangan pokok kelas pekerja. Dengan murahnya jagung, berarti murah juga upah buruh. Rendahnya nilai sarana hidup kelas pekerja berarti rendah pula nilai tenaga-kerjanya. Kapitalis industrial memenangkan perseteruan tersebut. Salah satu pendukung teoritiknya ialah teori keuntungan komparatif dari David Ricardo yang hingga sekarang masih dipergunakan kaum industrialis untuk mendukung impor bahan pangan.

Di dalam pemahaman Bapa, “kaum kapitalis, karena tekanan persaingan, mesti terus-menerus menekan upah” (h. 175). Artinya, upah riil buruh makin lama makin susut dan kemelaratan bertambah secara absolut. Tidak ada perbaikan kondisi kelas pekerja karena dalam pemahaman Bapa “agar dapat bertahan dalam persaingan, si kapitalis harus membuat produksinya menjadi lebih murah, dan karena itu ia mencoba untuk terus-menerus menekan upah kaum buruh” (h. 199-200). Dari pemahaman Bapa seperti ini terbayang bahwa kapitalis akan berupaya menurunkan upah sehingga buruh semakin sedikit saja bisa membeli barang kebutuhan hidup dengan upahnya (premis pertama). Karena ternyata upah riil tidak senantiasa turun dan keadaan kelas buruh mengalami perbaikan (premis kedua), maka teori Marx salah (kesimpulan). Kira-kira begitulah silogisme yang coba Bapa bangun untuk meyakinkan pembaca akan kenaifan Marx.

Karena Bapa sesumbar bahwa “Seluruh bab ini berdasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital”, maka saya pun baca kembali Das Kapital, terutama jilid pertamanya. Anehnya, teori yang Bapa kemukakan tidak saya temukan di sana. Saya ulang beberapa kali pembacaan saya, terutama untuk Bab XXII dan XXV. Takutnya saya salah paham. Maklumlah, saya kan bukan ahli Marx. Tapi tetap saja, Bapa. Di sana justru saya temukan penjelasan bahwa upah riil bisa saja meningkat dari waktu ke waktu terkait dengan taraf akumulasi kapital. Untuk lapisan kelas pekerja yang disebut Marx sebagai “aristokrasi pekerja” (Marx 1990: 822) seperti para insinyur atau teknisi ahli yang strategis untuk memproduksi, menjalankan, dan mengoperasikan permesinan dan teknologi baru, upah riil jelas lebih tinggi ketimbang upah riil rata-rata nasional. Di dalam Bab XXII (Marx 1990: 702-705), misalnya, Marx menjelaskan bahwa upah riil meningkat seiring dengan akumulasi kapital. Di wilayah-wilayah yang perkembangan kapitalismenya maju, upah riil akan lebih tinggi daripada upah riil di wilayah yang lebih terbelakang. Dijelaskan juga bahwa seiring dengan waktu upah riil cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya taraf industrialisasi suatu wilayah.

Di samping itu, Bapa, untuk bisa kompetitif, mengotak-atik ongkos produksi atau dalam ekonomi Marxis disebut “harga produksi”, hanya salah satu jalan saja buat kapitalis. Apabila benar Bapa membaca “tiga jilid Das Kapital”, dengan mudah Bapa bisa menemukan penjelasan Marx bahwa upaya kapitalis meningkatkan perolehan nilai-lebih tidak selalu dengan menekan upah buruh atau memperpanjang durasi waktu kerja. Bahkan sepanjang sejarah yang bisa Marx tangkap, justru pemendekan waktu kerja perlu, yaitu dengan meningkatkan kekuatan produktif permesinanlah yang disasar. Pemendekan waktu kerja-perlu bisa 1) memperpanjang rentang waktu kerja-lebih (rentang penciptaan nilai-lebih) sehingga 2) meningkatkan produktivitas kerja yang 3) berdampak pada penurunan nilai komoditi yang dihasilkan dan dengan demikian secara tidak langsung 4) menyusutkan ongkos produksi per potong. Susutnya nilai komoditi yang disebabkan peningkatan produktivitas kerja 5) menurunkan nilai tenaga-kerja karena nilai sarana hidup turut turun.

Turunnya nilai tenaga-kerja belum tentu diikuti oleh turunnya upah riil. Bisa saja besaran upah riil meningkat. Artinya, banyak barang kebutuhan yang bisa dibeli pekerja dengan upahnya karena harga komoditi sarana hidup turun seiring akumulasi kapital. Pada masa kejayaan “negara kesejahteraan” (yang pengagungannya oleh Bapa akan saya bahas kemudian), sebagian sarana hidup kelas pekerja dibayar oleh negara sehingga upah riil pekerja secara relatif tinggi. Para pekerja tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk membeli layanan kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Negara mensubsidi sektor-sektor konsumsi kelas pekerja ini supaya pekerja bisa mengkonsumsi komoditi lebih banyak. Di Indonesia, selain berbagai subsidi, kebijakan penetapan harga gabah merupakan salah satu sarana pemerintah mengurangi pengeluaran kelas pekerja industrial sehingga upah riil secara relatif tinggi dan mereka bisa membeli lebih banyak barang selain bahan pangan dengan upahnya (meski dengan mengorbankan kaum tani kecil).

Sepanjang seksi 5 Bab XXV, Marx juga menjelaskan dengan contoh-contoh kasus tentang naik-turunnya upah riil sepanjang siklus bisnis (Marx 1990: 802-870). Dari penjelasan tentang naik-turunya upah riil, Marx ingin menegaskan bahwa harga tenaga-kerja, bukan nilainya, diatur terutama oleh pergerakan komposisi cadangan pekerja industrial di dalam kelas pekerja. Upah riil akan cenderung meningkat saat boom ekonomi dengan tingkat penyerapan tenaga-kerja yang tinggi dan akan cenderung turun saat depresi ketika tingkat pengangguran tinggi. Mengapa dibilang ‘cenderung’? Tidak seperti tuduhan Bapa, Marx tidak pernah bilang pergerakan upah riil itu berlaku secara otomatis seperti terbit dan tenggelamnya matahari. Perjuangan kelas aktual yang mencakup aksi-aksi serikat buruh merupakan sarana yang melaluinya kelas pekerja bisa mengambil manfaat atas keadaan demi kepentingan mereka. Perjuangan kelas aktual itu seperti Nabi Yoshua yang bisa menghentikan matahari. Saat kondisi ‘pasar tenaga-kerja’ mendorong permintaan-efektif akan tenaga kerja meningkat, serikat buruh bisa membantu pekerja menawar tinggi harga tenaga-kerjanya dalam kontrak-kontrak industrial. Sementara itu pada saat permintaan-efektif dari kapitalis susut seiring dengan melayunya kegiatan ekonomi akibat depresi, aksi-aksi bagaimanapun sulit bisa menaikan harga tenaga-kerja (upah nominal). Jadi, Bapa tidak perlu mengutip-ngutip nama besar Jürgen Habermas untuk menyatakan bahwa “upah buruh sudah lama tidak ditentukan berdasarkan pertimbangan ekonomis, melainkan secara politis. Maksudnya, tinggi rendahnya upah di negara-negara industri maju merupakan hasil tawar-menawar antara serikat para majikan dan serikat kerja di level nasional” (196). Kalau sekadar ingin menyatakan bahwa perjuangan kedua-dua kelas secara politik menentukan upah nominal, jauh sebelum Jürgen Habermas ingusan Marx sudah bilang begitu, Bapa.

Mengapa Bapa dan para sarjana terkenal itu menegaskan dengan gagah berani bahwa Marx meramalkan upah riil buruh akan semakin turun seiring dengan akumulasi kapital? Pertama,  karena di dalam karya mudanya Marx memang seolah-olah menyatakan demikian. Misalnya di dalam Manifesto Komunis yang ditulis sebagai ‘manifesto’ yang fungsinya sebagai penyemangat gerakan kelas pekerja Jerman dalam Revolusi 1848. Setahun setelah itu, 1849, pandangan tentang pemiskinan absolut kelas pekerja tidak dianutnya lagi.

Kedua, karena Bapa dan para sarjana terkenal itu menyamakan begitu saja nilai tenaga-kerja dengan upah. Apabila bapa benar-benar melakukan apa yang yang Bapa katakan (“Seluruh bab ini berdasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital”), tentu Bapa akan dengan mudah menemukan penjelasan Marx tentang perbedaan antara nilai tenaga-kerja dan upah. Landasan analisis Marx terhadap akumulasi kapital beserta berbagai pengaruhnya terhadap pergerakan upah nominal secara koheren terkait dengan teori nilai kerjanya. Sejak halaman pertama Bab XVII, Marx membedakan antara nilai tenaga-kerja, harga tenaga-kerja, dan upah atau bentuk uang dari harga tenaga-kerja. Bisa terjadi penurunan nilai tenaga-kerja karena perkembangan kekuatan produktif di dalam industri penghasil sarana hidup menurunkan nilai sarana hidup sehingga ongkos untuk memulihkan kembali tenaga kerja juga susut. Pada saat yang sama upah bisa naik karena inflasi.

Terlepas dari benar-tidaknya teori akumulasi kapital atas upah yang Marx ajukan, mestinya sebelum Bapa menyatakan bahwa “Seluruh bab ini berdasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital”) baca dahulu dengan cermat “tiga jilid Das Kapital” itu sebelum menghakimi Marx dengan teori yang tidak dianutnya. Lari ke Ideologi Jerman atau Manifesto Komunis tidak memecahkan masalah yang hendak Bapa selesaikan, yaitu mencerdakan kehidupan bangsa dengan membuka kembali pemikiran Marx ke ruang-ruang diskusi kritis. Saya sependapat sepenuhnya dengan Bapa bahwa kita tidak bisa memilah Marx menjadi “Marx ekonomis” dan “Marx humanis” karena “Marx mempelajari ilmu ekonomi tetap dengan tujuan mencari syarat-syarat pembebasan manusia dari penghisapan dan keterasingannya. Justru agar emansipasi manusia dapat diusahakan secara realistik, Marx mempelajari hukum-hukum yang menentukan perkembangan perekonomian kapitalis” (h. 179). Semangat Marx untuk mengkritik kapitalisme dan keprihatinan kepada golongan rakyat pekerja tidak pernah berubah bahkan saat Marx masih seorang pemuda liberal radikal yang menulis kritik-kritik terhadap pemerintahan dan elit-elit perekonomian Jerman saat itu. Tetapi Bapa, pengetahuan dan kemampuan analisis ekonomi-politik Marx saat menulis Ideologi Jerman (1846) atau Manifesto Komunis (1848), tidaklah sama dengan saat dia mulai menulis Grundrisse (1857-1858) dan kemudian Das Kapital (1860-an). Teori-teori masa muda heroiknya tentang akumulasi kapital, upah, dan perjuangan kelas tidak bisa disetarakan dengan teori yang dilahirkan dari suatu proses pembelajaran panjang (15 tahunan) terhadap sistem perekonomian kapitalis. Marx itu manusia biasa, Bapa. Meski semangatnya mungkin tetap sama, tetapi pengetahuan dan kemampuan analisis yang dilandasi pengetahuannya akan sesuatu hal tidaklah sama, tapi berubah seiring bertambahnya pengetahuan dan pengalaman hidup.

Seorang kawan yang berburuk sangka pernah menyatakan: mungkin karena Bapa tidak menemukan pendukung “teori pemiskinan absolut kelas pekerja” di dalam Das Kapital, maka larilah Bapa ke karya-karya muda Marx lalu mengulang tesis yang diajukan salah seorang senior Bapa di ordo tentang kesinambungan antara Marx muda dan Marx tua dengan penempatan yang keliru. Saya tidak berpandangan demikian. Bapa seorang padri, paham filsafat moral, dan, tentu saja ajarannya Immanuel Kant.

Saya bukan seorang Marxis, Bapa. Tidak ada kepentingan untuk membela teori-teori Marx. Apalagi, seperti Bapa tekankan di awal buku Bapa, ajaran Marxisme sudah banyak yang tidak relevan dengan keadaan sekarang. Saya tidak begitu prihatin soal kebenaran-kebenaran teori Marx atau bantahan orang terhadapnya. Saya cuma pembaca awam yang prihatin kepada sesama pembaca buku. Saya hanya ingin jangan sampai pembaca mendapat pengetahuan tentang Marx dan “catatan-catatan kritis” yang keliru padahal sudah mengeluarkan uang sebesar dua atau tiga kali upah buruh garmen sehari di Bandung untuk membeli buku Bapa.

Menurut pandangan saya yang bukan filsuf, lebih bijak kiranya seksi b, sub-bab 2 Bab Sembilan tidak diberi judul “Pemelaratan yang Terus Bertambah”, tetapi diganti dengan “Teori Pemelaratan yang Terus Bertambah menurut The German Ideology dan Communist Manifesto dan Teori Pemelaratan yang Belum Tentu Bertambah di dalam Grundrisse, A Contribution to the Critique of Political Economy, dan Das Kapital”. Atau, karena di dalam seksi c tersebut Bapa hanya mengungkap teori pemelaratan absolut menurut Ideologi Jerman dan Manifesto Komunis, dan sama sekali tidak mengungkap teori dalam Das Kapital, judulnya bisa “Teori Pemelaratan menurut Marx dalam Karya Awalnya” lalu ditambahkan uraian di seksi baru yang mengulas pemikiran ekonomi Marx tentang subjek yang sama tapi diambil dari karya-karya ekonomi yang matangnya dengan judul “Teori Pemelaratan menurut Marx dalam Karya Matangnya”. Jika Bapa melakukan saran saya, mudah-mudahan ajaran moralnya Immanuel Kant tidak sekadar teori yang Bapa ajarkan kepada mahasiswa supaya bisa menjawab soal-soal ujian dalam matakuliah Filsafat Moral, tetapi dijalankan sebagai bagian dari hidup keseharian Bapa yang suci itu. Bapa tidak bisa melempar tanggung jawab dengan mengatakan “Tetapi kurang jelas apakah konsepsi itu juga masih dipertahankan oleh Marx dalam Das Kapital” (200). Dengan mengatakan “tapi kurang jelas…”, tanpa disadari Bapa sudah menipu pembaca. Bukankah Bapa bilang “seluruh bab ini didasarkan karya utama Karl Marx, tiga jilid Das Kapital”?

Masalah besarnya bukan pilihan judul yang tendensius, tetapi bahwa kebanyakan pembaca buku di Indonesia mudah sekali percaya karena mereka memberhalakan titel profesor dan rangkaian daftar pustaka berbahasa asing. Seolah-olah apabila penulisnya profesor, terkenal pula sebagai ahli pikir mumpuni, dan di daftar pustaka tercantum judul-judul buku berbahasa asing, seolah-olah si penulis buku sudah pasti membaca, memahami seluruhnya, dan pasti ulasannya “objektif dan kritis”.

Lalu di pikiran saya lemah daya filosofisnya itu muncul tanya: sebetulnya Bapa baca tidak sih “tiga jilid Das Kapital” itu? Apakah catatan akhir 1 untuk Bab Sembilan itu cuma gertak sambel saja supaya pembeli buku terkagum-kagum dan kemudian yakin betul buku Bapa ditulis secara “objektif dan kritis”?

Catatan 4: Soal Kepemilikan Korporasi atawa Joint-Stock Company

Bapa Yang Terhormat,

Bapa dididik sebagai rahib jauh sebelum saya dilahirkan. Setahu saya kejujuran merupakan sifat yang penting dan pasti diajarkan sejak bapa di seminari. Apabila kita tidak tahu, sebaiknya kita jujur katakan tidak tahu. Begitu pula sifat rendah hati. Apabila kita belum pernah membaca suatu buku, tentu kita harus mengakui bahwa kita memang belum membacanya atau kalaupun pernah tetapi tidak tuntas, tentu kita juga harus mengakui terus-terang bahwa kita hanya membaca sebagian saja, tidak sampai tuntas. Sungguh tidak mulia apabila kita umbar bicara ke banyak orang kita ahli, banyak baca, tetapi nyatanya tidak.

Nah, terkait dengan dua sifat mulia seorang rahib di atas, ijinkanlah saya untuk komentari pernyataan Bapa yang berikut:

“Marx berfokus pada para pemilik. Tetapi dalam proses produksi kapitalistik sekarang, para pemilik hampir tidak memainkan peranan, mereka tidak menentukan penanaman modal, dan rente yang mereka tarik (dividen saham) tidak amat berpengaruh (andaikata tidak diberi dividen, upah buruh belum tentu akan mengalami banyak kenaikan)” (Magnis-Suseno 1999: 194).

Ada beberapa hal yang menarik dikomentari dari pernyataan Bapa ini. Pertama, soal “para pemilik hampir tidak memainkan peranan”. Yang Bapa maksud pemilik di sini tentu adalah kapitalis yang memiliki saham korporasi. Bapa yang rendah hati, tentu saja pernyataan ini benar buat mereka yang tidak begitu paham sistem korporasi. Para pemegang saham kecil-kecilan yang memiliki 100 atau 200 lembar saja tentu tidak punya kekuatan apapun untuk bisa mempengaruhi jalannya bisnis. Mereka tidak ada bedanya dengan para penabung di bank-bank konvensional yang mendapatkan bunga atas simpanannya 5-10 persen setahun. Memiliki saham 100-200 lembar tidak serta mereka menjadi kapitalis. Lain ceritanya buat para pemegang saham mayoritas atau controlling block (20-50 persen dari total saham yang diterbitkan). Karena di dalam sistem korporasi secara hukum suatu korporasi dianggap sebagai individu dan dengan demikian satu korporasi bisa memiliki saham korporasi lain dengan kemampuan yang jauh di atas para pemegang saham kecil-kecilan, maka tidak sulit untuk menguasai mayoritas saham suatu perusahaan. Merekalah “para pemilik” sebenarnya dari korporasi.

Tentu saja Bapa, presiden tidak akan mengurusi pembuatan KTP seorang mantan tapol. Itu urusan ketua RT, kepala desa, camat, polisi, dan danramil setempat. Begitu pula para kapitalis tidak akan ngurus tetek bengek pengangkatan pegawai baru, disain produk, kontrak-kontrak penjualan-pembelian, penyusunan proposal pinjaman ke bank, penghitungan neraca usaha, acara rapat tahunan pemegang saham, dan sebagainya. Bahkan dalam bisnis langsung, seorang CEO dan para direktur hanya mengurus perencanaan jangka panjang. Segala urusan harian menjadi tanggung jawab para manajer senior dan first line manager. Para pemilik saham, entah itu pribadi perusahaan, atau bank, hanya memerhatikan bagian dividen yang menjadi haknya. Tetapi keliru apabila dikatakan bahwa “para pemilik” tidak punya peranan. Pemilik saham mayoritas atau segrup kapitalis yang menduduki posisi controlling bloc tidak segan-segan mengadakan rapat umum pemegang saham luar biasa untuk memecat CEO dan barisan manajer seniornya apabila dinilai lalai menjalankan tugasnya mencapai target. Selain itu, segala keputusan yang menyangkut langsung urusan laba bersih tahunan tidak bisa CEO lenggang begitu saja memutuskan. Untuk urusan tetek-bengek kegiatan bisnis harian, memang CEO dan para manajernya yang berkuasa penuh. Tapi soal ekspansi jangka panjang itu urusannya “para pemilik” yang menguasai mayoritas saham perusahaan.

Kedua, soal “rente yang mereka tarik tidak amat berpengaruh”. Bapa yang jujur, tentu saja penyataan ini benar buat para pemegang 100-200 lembar saham dari 100 juta lembar saham yang diterbitkan suatu korporasi. Misalkan saja harga per lembar saham adalah Rp. 10.000,- dengan dividen per tahun, katakanlah 5%. Artinya, pemegang 100 lembar saham hanya akan mendapatkan rente 50 atau 100 ribu rupiah per tahun. Jumlah ini tidak lebih banyak dari bunga tahunan bank atas tabungan biasa. Memiliki saham 100-200 lembar tidak lantas pemiliknya menjadi “kapitalis”. Mereka tidak bisa hidup hanya dengan mengandalkan pendapatan 50 atau 100 ribu rupiah per tahun dari dividen. Tetapi bagaimana dengan pemegang saham mayoritas yang menguasai 30-40% dari total lembar saham yang diterbitkan?

Mungkin, ketika mengetik kata “para pemilik” yang terbayang di benak Bapa ialah seorang mahasiswa pascasarjana suatu sekolah tinggi filsafat yang kebetulan juga seorang “eksekutif muda” yang pernah bilang bahwa dia memiliki beberapa lembar saham suatu perusahaan. Tidakkah terpikir oleh Bapa bahwa yang membeli saham itu adalah, misalnya, J.P. Morgan & Company, sebuah holding company raksasa berkedudukan di Amerika. Tidak terpikir juga bahwa J.P. Morgan Company atau Wal-Mart Inc., lewat anak-anak perusahaannya yang banyak itu, tidak hanya membeli saham-saham dari satu atau dua perusahaan, tetapi dari ratusan perusahaan yang menerbitkan jutaan lembar saham. Tidak terpikir jugakah bahwa jumlah saham yang dikuasai J.P. Morgan Company jutaan lembar di masing-masing perusahaan. Andaikata benar kata Bapa “rente yang mereka tarik tidak amat berpengaruh”, mungkin sudah sejak berdirinya beberapa abad yang lalu model kepemilikan korporasi lenyap dari panggung kapitalisme. Lagi pula Bapa, buat apa susah-susah J.P. Morgan & Company atau Wal-Mart Inc. memiliki kedudukan pemegang saham mayoritas di banyak perusahaan, termasuk yang di luar sektor tradisional mereka?

Pembentukan korporasi atau perusahaan saham gabungan merupakan salah satu cara kelas kapitalis memobilisasi pendapatan masyarakat dan mengubahnya menjadi kapital. Seperti sudah diulas di muka, keberadaan perusahaan saham gabungan menguntungkan para kapitalis secara umum, dan para magnate atau aristokrasi keuangan secara khusus. Dengan menjual saham ke publik, para kapitalis tidak perlu memiliki 100 persen kapital (aset dan modal) suatu perusahaan. Cukup dengan 20 atau 30 persen saja mereka bisa mengendalikan kapital perusahaan dengan efektif. Dalam konteks ini, para pemegang saham kecil-kecilan, seperti si mahasiswa pascasarjana sekolah tinggi filsafat itu, mensubsidi kapitalis sehingga bisa menguasai kapital besar dengan modal kecil.

Ketiga, soal “andaikata tidak diberi dividen, upah buruh belum tentu akan mengalami banyak kenaikan”. Terkait dengan penjelasan di atas, seandainya 100 persen saham perusahaan dikuasai para pekerja perusahaan tersebut, tentu akan amat sangat berpengaruh sekali terhadap pendapatan mereka. Misalnya saja total saham ada 100 juta lembar yang selembarnya adalah 10 ribu rupiah. Andaikata di situ ada 1000 pekerja sehingga masing-masing pekerja mendapat bagian 100.000 lembar saham senilai 1000 juta dengan dividen 5 persen, maka setahunnya seorang pekerja bisa mendapatkan tambahan 50 juta rupiah di luar gaji bulanan. Jumlah ini cukup untuk membiayai kuliah anak para pekerja itu di sekolah tinggi filsafat.

Terakhir, mohon maaf apabila saya mengatakan Bapa keliru apabila berpikiran dalam pemikirannya Marx hanya hanya berfokus pada “para pemilik” yang “memainkan peranan” seperti dalam model “koperasi sederhana” yang di dalamnya seorang kapitalis adalah majikan langsung dari para pekerjanya. Di dalam sistem koperasi sederhana dan manufaktur, “para pemilik” memang seperti yang Bapa katakan “memainkan peranan dalam menentukan penanaman modal”. Tetapi keliru jikalau Bapa berpikiran analisis Marx bertumpu pada kapitalis jenis ini saja. Analisis Marx terhadap sistem kapitalisme secara teoritik murni yang menggunakan “kapitalis individual” sebagai pelaku utama tentu saja hanyalah cara analisis saja Bapa. Tetapi Marx tidak berhenti sampai di rumusan abstrak “kapitalis individual vs pekerja individual”. Sepengetahuan saya yang bukan ahli Marx ini, semenjak Bab XIV hingga akhir jilid pertama Das Kapital, analisis Marx lebih historis.

Dalam kaitannya dengan organisasi kapital joint-stock company, sudah sejak Das Kapital jilid pertama, Marx mengantisipasi dominasi corak pengorganisasian kapital tersebut dalam perkembangan kapitalisme. Dalam penilaian Marx, perusahaan saham gabungan, bersama-sama dengan sistem hutang nasional (tentu saja dengan keberadaan Bank Sentral dalam perekonomian modern) merupakan basis dari kecenderungan “perjudian pasar saham dan bankokrasi modern” (Marx 1990: 919) yang membiakkan perekonomian spekulasi dan kekuasaan bankir melampaui industrialis terhadap perekonomian secara umum. Marx tidak keliru. Sekarang ini, kapital-uang lebih banyak bersirkulasi di dalam perdagangan matauang, sekuritas, dan tetek-bengek future ketimbang di dalam sektor riil.

Memang benar petuah nenek saya, Bapa: jangan terlalu sering melamun di depan pintu. Mungkin Bapa terlalu sibuk membikin catatan-catatan kritis hingga tidak sempat membaca karya orang yang hendak dikritik.

Kembali ke soal kejujuran dan kerendahhatian, saya hanya ingin bertanya: apakah Bapa mau mengakui bahwa Bapa sebetulnya tidak baca Das Kapital? Jujur saja Bapa. Sudah 12.000 orang yang membeli buku Bapa mendapatkan keterangan palsu. Keterangan bahwa Marx begitu bodohnya sehingga tidak tahu cara kerja joint-stock company yang sejak masa hidupnya Sir Adam Smith saja sudah bikin masalah. Coba pinjam buku ke mahasiswa Bapa yang dulu kuliah sarjana di fakultas ekonomi. Pinjamlah buku sejarah korporasi atau Wall-Street, dan cari di indeks: South Sea Company. Lalu cari tahu kapan korporasi itu hidup dan akhirnya ditutup karena bikin masalah.

O iya Bapa, sebelum lupa, sudahkah Bapa baca juga Das Kapital jilid ketiga yang bab terakhirnya dirancang untuk mengulas bursa saham dan peranan joint-stock company di dalam kapitalisme? Saya curiga sih belum.

Catatan 5: Soal Monopoli

Salam Bapa,

Seperti catatan no.4, catatan kali ini juga remeh-temeh belaka Bapa. Di dalam buku, Bapa menulis: “Monopoli dan kartel misalnya, justru tidak diizinkan berkembang bebas dalam negara-negara industri maju” (hlm. 204-205).

Konteks pernyataan ini ialah kritik Bapa yang bersahaja terhadap teori-teori marxis yang menurut Bapa dibuat untuk menutupi kenyataan bahwa ramalan Marx tentang keruntuhan kapitalisme ternyata tidak terbukti. Mengapa kapitalisme belum juga runtuh? Karena, menurut Lenin, kapitalisme berkembang ke arah monopoli dan imperialisme memperlambat keruntuhannya. Begitu kira-kira yang saya pahami dari tulisan Bapa.

Saya sih tidak begitu peduli soal benar-tidaknya teori-teori kaum marxis tentang keruntuhan kapitalisme itu. Saya cuma tertarik pada pernyataan Bapa di atas. Pertanyaannya: benarkah “monopoli dan kartel justru tidak diizinkan berkembang bebas dalam negara-negara industri maju”?

Tentu saja pernyataan Bapa ada benarnya karena ada produk hukum di “negara-negara industri maju” yang melarang bentuk-bentuk monopoli sebab sesuai dengan keyakinan borjuis kepada liberalisme, monopoli menghambat perkembangan ekonomi dan merugikan konsumen.

Secara normatif, peraturan seperti Sherman Anti-Trust Act yang terbit pada 1890 dan Clayton Acts yang terbit pada 1916, misalnya, memang melarang praktik-praktik monopoli, tetapi dalam praktiknya, merger, pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain, dan terbentuknya monopoli industrial bisa dilakukan tanpa kesulitan berarti bahkan sejak kedua undang-undang tersebut diterbitkan, terutama, tentu saja, bagi korporasi-korporasi besar.

Salah satu bentuk monopoli yang paling solid adalah merger atau trust atau pakatan. Sejak akhir abad ke-19 hingga sekarang proses penyatuan dua atau lebih perusahaan besar menjadi satu perusahaan yang lebih besar lagi terus terjadi dengan nilai kapital gabungan yang kian raksasa. Dari 1950 hingga 1959 rata-rata ada merger 540 korporasi per tahun. Dari 1960 hingga 1967 ada 1100 merger per tahun, dan pada tahun 1968 saja ada 2655 merger. Tentu saja korporasi-korporasi yang merger tahun-tahun itu dari berbagai ukuran. Ada yang besar, ada yang menengah, dan ada pula yang raksasa.

Semenjak 1990-an, korporasi-korporasi yang merger didominasi kontrak-kontrak merger dengan nilai kontrak yang raksasa. Pada tahun 1999, kontrak pembelian Mannesmann oleh Vodafone bernilai 183 milyar dolar dan Pfizer membeli Warner Lambert senilai 90 milyar dolar. Tahun sebelumnya Mobil Oil dibeli oleh Exxon senilai 77,2 milyar dolar dan kontrak pembelian British Petroleum terhadap Amoco bernilai 53 milyar dolar. Apabila Bapa tidak percaya data ini silahkan tanya ke mahasiswa Bapa yang tahu perekonomian global atau coba sekali-kali Bapa menengok ke dunia nyata dengan melihat lewat:

http://en.wikipedia.org/wiki/Merger_and_acquisitions.

Dari tahun 2000 hingga 2008 ada 13 kontrak-kotrak merger dari 25 korporasi raksasa yang mempunyai nama terkenal di seluruh dunia. Di antaranya adalah merger antara Hewlett-Packard dan Compaq di bidang komputer, J.P. Morgan Chase dan Bank One di bidang perbankan, Walt Disney Company dan Pixar serta Paramount dan Dreamwork di bisnis hiburan, lalu ada juga antara Lucent dan Alcatel (Ferrell, Hirt, dan Ferrell 2008: 167).

Merger-merger antarperusahaan besar yang bergerak di lini produksi yang sama menjadikan panggung dunia usaha tampaknya hanya akan diisi oleh beberapa pemain raksasa saja. Di beberapa lini produksi, masa depan itu tampaknya sudah terlihat jelas. Misalnya, sebagian besar pangsa pasar produk farmasi dunia dikuasai hanya oleh tiga korporasi raksasa dunia, yaitu Sanofi-Aventis, Pfizer, dan GlaxoSmithKline. Selebihnya boleh dianggap dikuasai oleh figuran-figuran nasional di dalam drama akumulasi dan konsentrasi kapital sektor farmasi, Bapa.

Kalau Bapa terlalu sibuk untuk melihat dunia nyata yang nun jauh di Amerika, coba saja Bapa iseng-iseng tanya ke mahasiswa pascasarajana Bapa yang dulunya kuliah di fakultas ekonomi UI: siapa sih yang membeli Bank Ekonomi dengan ratusan cabangnya itu? Siapa sih yang membeli Bank Internasional Indonesia? Siapa sih yang membeli Bank Lippo dan Bank Bali? Atau, apabila enggan bertanya karena malu dianggap kuper, coba saja datang sendiri ke warung sebelah kampus lalu cari tahu: berapa korporasi sih yang memproduksi hampir semua produk sabun-sabunan di Indonesia? Ada berapa korporasi yang mengendalikan produksi dan pemasaran susu kemasan dari beraneka jenis itu di Indonesia? Korporasi apa saja sih yang memproduksi hampir semua produk minuman dalam kemasan? Cara menyelidikinya mudah, Bapa. Cukup bawa pulpen yang masih ada tintanya, lalu Bapa catat itu nama korporasi yang biasanya ada di bagian belakang kemasan produk. Mudah-mudahan saran saya berfaedah membuka wawasan Bapa yang sempit.

Bapa mau tahu jawabannya kenapa merger, pakatan, trust, kartel, atau apapun jenis pengorganisasian kapital monopoli masih saja terjadi? Seorang sejarawan Wall Street, Richard Geisst (dia bukan marxis atau neomarxis lho, Bapa) menjelaskan sebabnya:

“Dengan bersembunyi di balik payung holding company, banyak perusahaan bisa membeli saham sesamanya sehingga menyamarkan kepemilikan sebenarnya. Perusahaan bisa memiliki perusahaan lain di dalam bisnis yang sama tanpa meningkatkan kemungkinan tertangkap basah. Pengajuan ke muka hukum dengan Sherman Act akan sangat sulit karena butuh waktu lama untuk menentukan mana perusahaan yang memiliki perusahaan lainnya” (Geisst 2004: 127).

Lalu, Geisst mengambil kesimpulan:

“meski Sherman dan Clayton Act sudah dituliskan di buku-buku selama puluhan tahun, ada kesepakatan umum bahwa pengaruh mereka sangat terbatas. Meskipun J.P. Morgan and Company dihalangi geraknya oleh berbagai undang-undang perbankan dan sekuritas, ada perasaan yang tersebar luas bahwa ia masih amat sangat terkait dalam investasi-investasi perbankan” (Geisst 2004: 258).

Sejak 1970-an kebijakan anti-trust Amerika digugat lebih terus terang. Menurut ekonom-ekonom jenis baru dari Mazhab Chicago, yang mulai punya suara di Amerika setelah salah seorang tokohnya Milton Friedman mendapatkan Hadiah Nobel, kebijakan tersebut menghambat efisiensi yang menjadi sebab kemandekan ekonomi Amerika. Akhirnya, pada dasawarsa 1980-an, saat Presiden Reagan yang disokong oleh ekonom-ekonom Mazhab Chicago dan terkenal dengan program-program neoliberalnya berkuasa, akhirnya kebijakan-kebijakan anti-trust seperti Sherman Anti-Trust Act atau Clayton Act diminimalisasi pengaruhnya dengan definisi ulang atas berbagai peristilahan di dalamnya.

Dari membandingkan kenyataan seperti ini dengan pernyataan Bapa di atas, tampaknya Bapa betul-betul sangat berkualifikasi sebagai seorang filsuf dalam arti sebenarnya yang lebih sanggup melihat apa yang semestinya berlaku ketimbang menengok apa yang sebetulnya terjadi. Pernyataan Bapa sungguh “tidak sesuai dengan kecanggihan kenyataan yang sebenarnya”, dan akhirnya “menjauh dari kenyataan”.

Monopoli bukanlah mode, Bapa, tetapi konsekuensi logis dari akumulasi dan konsentrasi kapital serta perkembangan timpang perekonomian secara keseluruhan yang diakibatkannya. Konsekuensi logis yang diketemukan Marx waktu menyelidiki hakikat perekonomian kapitalis sekarang amat sangat dengan mudah sekali bisa dijumpai bukti empirisnya. Itupun kalau Bapa sudi turun dari menara gading bersepuh emas.

Sekadar Basa-basi

Bapa yang terhormat,

Sebetulnya ada banyak hal lain yang ingin sekali saya komentari. Misalnya soal pernyataan Bapa: “Kaum buruh tidak menjadi semakin melarat, melainkan selama lebih dari seratus tahun terus mengalami perbaikan keadaan” (hlm. 204). Dari mana Bapa dapat kesimpulan ini sementara tak lebih 100 kilometer dari kampus Bapa yang ruang kelasnya ber-AC dan rindang taman diskusinya itu masih banyak pabrik-pabrik sweatshop (cari definisinya di kamus). Belum lagi kaum pekerja di sektor yang disebut Marx “industri domestik” yang disubkontrak perusahaan subkontrak Indonesia yang disubkontraktor oleh perusahaan subkontraknya Nike atau GAP yang berkantor di Singapura yang banyak di pinggiran Bogor, Bandung, Bekasi yang menjalani hidup seperti leluhur mereka di masa Revolusi Inggris. Tidak seberuntung saudara mereka yang ada di dalam pabrik, para pekerja industri domestik yang tidak tercatat di Depnakertrans bekerja dengan upah 6000 rupiah (6 sen US$) per potong baju Nike yang dijual di Amerika seharga US$ 22,99, tanpa tunjangan apapun, dan si perusahaan yang mempekerjakan mereka langsung dengan sistem putting-out atau pesanan bisa meninggalkan mereka begitu saja tanpa salam perpisahan. Belum lagi keadaan kelas pekerja yang tidak lagi dipekerjakan: pensiun, dipecat, cacat kecelakaan kerja, atau sakit-sakitan. Tolonglah Bapa, kalau bikin pernyataan hendaknya dipikir dulu masak-masak. Sekali-kali turunlah dari menara gading emas.

Tapi setelah dipikir-pikir sepertinya saya akan melakukan sesuatu yang sia-sia apabila melanjutkan menulis soal kekeliruan Bapa soal pemikiran ekonomi Marx yang seringkali bikin saya tak habis pikir bisa terjadi pada seorang guru besar filsafat ahli Marx. Bapa dibesarkan dan dididik di bawah masanya Paus Pius XXII dan masuk ke Indonesia bersama Pater Beek, dan sekarang sudah renta pula, sudah siap ke Girisonta. Tampaknya saran mengaku dosa atas kesalahan dan pembodohan yang Bapa tebarkan lewat buku Bapa dan untuk belajar kembali Das Kapital sulit bisa dijalani. Tetapi, bahkan kotoran pun bisa jadi pupuk, saya haturkan terima kasih kepada Bapa telah menulis soal Marx. Saya akan lebih berterima kasih lagi apabila Bapa merevisinya.

Kepustakaan

Ferrell, O.C., Geofrey Hirt, dan Linda Ferrell (2008) Business: A Changing World, Boston, dll.: McGraw-Hill Irwin.

Geisst, Charles R. (2004) Wall Street: A History from Its Beginnings to the Fall of Enron, Oxford: Oxford University Press.

Marx, Karl (1990) Capital: a Critique of Political Economy, Volume 1, London: Penguin Books.

Marx, Karl (1990a) Results of Immediate Process of Production, Appendix dalam Capital: a Critique of Political Economy, Volume 1, hlm. 941-1084, London: Penguin Books.

Polanyi, Karl (2001) The Great Transformation: the Political and Economic Origins of Our Time, Boston: Beacon Press.

Smith, Adam (1990) The Wealth of Nations, Book I-III, London: Penguin Press.

Akiko Nishimoto

Leave a comment